Minggu, 30 September 2012

Cerpen



KU NANTIKAN KAU DI BATAS WAKTU

Di kedalaman hatiku..
Tersembunyi harapan yang suci
Tak perlu engkau menyangsikan
Lewat keshalihan mu yang terukir menghiasi dirimu
Tak perlu dengan kata-kata
Sungguh walau ku kelu
Tuk mengungkapkan perasaan ku
Namun penantian mu pada diriku jangan salahkan
Kalau memang kau pilihkan aku
Tunggu sampai aku datang
Nanti ku bawa kau pergi ke syurga abadi
Kini belumlah saatnya
Aku membalas cintamu
Nantikan ku di batas waktu

(Edcoustic_ Nantikan Ku di Batas Waktu)

Alunan nasyid dari salah satu grup nasyid popular mengalun dari netbook Dea. Pandangan kosong saat itu yang Dea tampakkan. Memandang netbook di hadapannya dengan jari di atas keyboard, diam tak bergerak. Tatapan matanya menerawang jauh entah apa yang Ia pikirkan saat itu. Hingga tanpa ia sadari sesekali butir air matanya jatuh membahasi beberapa tombol keyboard di hadapannya. Lagu Nasyid itu mengalun tak berganti-ganti hanya lagu itu yang ia dendangkan, entah sudah beberapa kali  lagu itu ia dendangkan.

Suara kodok dan desahan orang yang sedang tidur juga turut meramaikan suasana kamar kost yang berukuran 3 X 3,5. Cuaca dingin karena diluar hujan turun menambah kesyahduan malam itu. Yah… maklum jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Dea pun belum juga bisa memejamkan mata. Tetap pada kesibukannya memandangi netbook dengan lembar kerja Microsoft word. Terdapat beberapa kata dalam halaman yang ia tulis. Sebuah kejadian yang baru dia alami, tentang sebuah kesiapan yang menjadikannya hatinya bimbang tak menentu, hanya dia yang tahu apa yang akan ia lakukan. Entah apa yang harus dia lakukan untuk membuat keputusan akan hal ini. Tentang masa depannya.

Dea adalah seorang akhwat, mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas negeri di Jogjakarta fakultas Ekonomi. Dea adalah aktivis di berbagai organisasi dalam dan luar kampus. Segala aktivitasnya selalu yang berhubungan dengan syiar. Semangatnya begitu luar biasa dan selalu aktif dalam kegiatan sosial. Ia adalah anak tunggal dari keluarga yang mampu namun dia berpenampilan sederhana bahkan karena dandannannya tidak banyak orang yang tahu tentang keluarganya. Karena banyak yang menilai bahwa dea adalah salah satu akhwat sederhana. Walaupun begitu Kuliah pun Dea mendapat beasiswa secara penuh selama 4 tahun karena prestasi di bidang akademik maupun non akademik yang luar biasa yang pernah ia raih di semester awal ia kuliah.


            “Dea tunggu saya” short massage service pagi-pagi muncul di layar HP Nokia, tersemat nama salah seorang aktivis ikhwan
yang tak lain adalah Azzam . Dea sungguh kaget mendapatkan sms yang tidak wajar itu. Azzam  memang sudah ia kenal bahkan ia mengenalnya sebagai saudaranya karena berada dalam satu fakultas dan beberapa organisasi yang sama. Ya..Azzam  adalah ketua bidang kewirausahaan di salah satu organisasi di kampus. Ikhwan yang mempunyai tanggung jawab atas tugas yang di embannya. Ikhwan ini juga yang diam-diam sempat membuat hati dan perasaan Dea kagum pada sosoknya karena tanggung jawabnya dan masuk kriterianya sebagai pendamping hidup bagi dea. Dengan hati dengan sejuta tanya dan dengan nada datar Dea menjawab pesan itu.


“Tunggu ??? tunggu apa ?? saya tak maksud dengan hal yang Azzam katakan”
“Pokoknya tunggu saya, InsyaAllah nanti anda akan tahu jika memang sudah waktunya untuk saya sampaikan hal ini.” Timpal Azzam itu.

Gemuruh hati Dea mulai memuncak. Tanda tanya besar dengan jawaban Azzam itu. Tak disangka dan Dea pun sulit mencerna apa maksud ikhwan itu. Beberapa saat Dea sempat hanyut dengan pikiran-pikiran yang dibuatnya. Untunglah Dea cepat tersadar lalu beristghfar dan memutuskan untuk mengakhiri sms itu.“Oh..ya saya sedang ada kerjaan. Iya di tunggu saja kabar dari saya. ” Terkirimlah pesan penutup itu.

Dea masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa maksudnya? Apa maksud dari pesan yang baru ia terima. Tak bisa dipungkiri hati Dita yang notabenenya adalah seorang akhwat pastilah tersipu dengan isi sms itu. “Jika memang sudah waktunya” “Tunggu dea” hm… inilah yang menjadi pertanyaan. Dea mulai berpikir macam-macam dengan isi sms itu. Ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang sempat melayang di pikirannya. Apa iya tentang sebuah kesiapan menuju pelaminan atau hanya sekedar kesiapan dalam hal lain di organisasi misalnya, lalu tunggu, apakah ada info yang mengejutkan tentang kuliah, tentang beasiswa atau apa??? Dea hanya berguman sendiri sesaat setelah mendapat sms itu.

Tak ingin terbuai dengan kabar yang belum jelas itu, akhirnya Dea memutuskan mempersiapkan presentasinya untuk beberapa mata kuliah hari ini. Bergegas Dita mengambil draft yang telah di persiapkan lalu membuka netbook dan mulai mencari Power point presentasi yang ia buat semalam. Dita mencoba mengalihkan pada presentasinya.

Jam Dinding menunjukkan pukul 06.30. Suara teman sekamar Dea tiba-tiba menegurnya
“de, kamu gak mandi dulu? Udah setengah 7 ni. Kamu ada kelas setengah 8 kan?”

Cepat Dea melirik jam yang ada di Netbooknya dan terbelalak.
“Iya Wi… maksih ya udah diingatkan. Ku terlalu fokus ni sama bahan presentasi nanti” Sahut Dea
“Ya..udah sana mandi. Biar aku yang beresin kamar.” Tawar Dewi
“Ok..sip.. makasih ya Wi”

Tepat pukul 07.15 Dea selesai dengan persiapannya. Langkah tegap dengan tas punggung yang tampak berat siap ia gerakkan. “Assalamu’alaikum wi, Ku ke kampus dulu ya” teriaknya sambil jalan. Sepanjang jalan Dea membaca hand out presentasinya. Membaca kembali isi presentasi yang nanti akan dilakukannya di depan kelas.

Hari sudah mulai senja. Dea baru saja keluar dari kelas. Hari ini hari yang melelahkan buatnya karena ada 9 SKS yang harus Ia lalui dengan beruntun. Adzan Ashar mengantarkannya keluar dari ruangan kelas dan langsung menuju Masjid kampus. Ia ingin segera membasuh wajahnya dengan air wudhu.
“Benar-benar hari ini menguras tenaga ku Wi, 9 SKS dengan mata kuliah full praktek.” Curhatan Dita ketika bertemu Dewi di tempat wudhu akhwat

“Tetap semangat de, udah cepat ambil wudhu. Nanti keburu iqomah. Ku duluan ya.” Sambil meninggalkan Dea di tempat wudhu menuju lantai 3 Masjid kampus.
Sholat Asharpun telah berakhir.

Dea dan Dewi memutuskan untuk segera pulang ke kostn. Sore ini mereka tidak ada kegiatan di organisasi maupun di tempat lain. Mereka berdua turun dari tangga akhwat menuju serambi lantai 2 tempat ikhwan. Segerombolan ikhwan masih ngobrol di tangga-tangga. Entah apa yang mereka bicarakan yang pasti seperti kebiasan akhwat saja. Dea dan Dewi memberanikan diri lewat samping gerombolan ikhwan itu menuju tempat sepatu. Ketika mengambil sepatunya, Dea tak sengaja menangkap wajah seseorang yang saat itu juga tengah melihatnya. Ya..ikhwan itu adalah yang mengirim sms tadi pagi. Semburat senyum terlihat pada wajah ikhwan saat mereka saling melihat. Terpaksa dengan salah tingkah Dea membalas senyum itu ala kadarnya lalu kembali menunduk dan berjalan meletakkan sepatunya sebelum ia pakai. Tentu getaran yang luar biasa kala itu. Cepat-cepat Dea melangkah meninggalkan masjid tanpa menoleh lagi kemana-mana dan terus berdzikir. Dewi yang tidak sadar dengan perubahan sikap Dea hanya mengikutinya dari belakang.

Sesaat setelah sampai kost, HP Dea bergetar. Dikeluarkannya dari dalam saku roknya. Ternyata dari ikhwan itu lagi. Cepat-cepat Ia buka.

“Asslm.. dea adakah waktu saya ingin berbicara dengan anda?”

Dengan cepat kilat, Dea menekan tombol replay lalu mengetik huruf demi huruf.
“Wa’alaikumsalam. Berbicara mengenai apa ? Kapan?”
“Lebih baik saya komunikasikan nanti saja saat kita bertemu. Untuk waktunya dea bisanya kapan? Saya menyesuaikan. Oh..ya nanti dea ajak teman ya.”
“Oh..iya . InsyaAllah minggu bada ashar dea  kosong.”
“Baiklah. InsyaAllah minggu sore di masjid kampus saja de.”
“Iya. InsyaALLAH.”

Begitulah singkatnya. Dea mengiyakan pertemuan itu tanpa mengetahui apa yang sebenarnya akan dijadikan topik dalam pertemuannya nanti. Yang pasti Dea ingin tahu apa yang menjadi niatan ikhwan itu hingga mengajaknya bertemu. Sepanjang sore itu Dea tak bisa lepas dengan hal itu. Selalu timbul pertanyaan dan pertanyaan. Hari ini adalah hari kamis berarti dua hari lagi. Gumannya.

Hari yang telah ditentukanpun tiba. Ahad selepas ashar Dea menuju masjid kampus. Saat itu Ia baru saja selesai kegiatan bhakti sosial yang diselenggarakan salah satu organisasi yang Ia ikuti. Jam tangan menunjukkan pukul 15.00 dan saat itu Dea masih dalam perjalanan di angkot. Pikirnya pasti akan terlambat. Langsung Ia mengeluarkan HP dan meencari-cari nomor seseorang di kontak HP nya. Ia akan sms Dewi dulu yang sore itu akan menemaninya menemui ikhwan itu.

“Wi.. ku masih di perjalanan. Kayaknya jam empat baru sampai masjid. Kamu ke masjid dulu ya. Tunggu aku di masjid aja. Macet banget ini.”Sending massage. Dan beralih pada kontak selanjutnya. Kontak ikhwan itu pilihannya.

“maaf keliahatannya nati saya terlambat. Saya baru saja selesai kegiatan di luar. Ini baru menuju kampus. Kira-Kira jam empat baru sampai. .” Cepat Dita mengirimkan pesan itu.

“Iya de, tak apa. saya tunggu di Masjid saja”
Dewi saat itu sudah berada di Kampus menunggu datangnya Dea. Pukul 15.45 ternyata Dea sudah sampai Masjid Kampus. Bergegas Ia mengambil air wudhu dan Sholat Ashar di masjid lantai 3. Selepas sholat Ia mengambil HPnya kembali dan meng SMS Ikhwan itu.

“Anda dimana? saya sudah di masjid.”
“Di serambi lantai 2 de, sebelah utara. Di sini saja ya. saya tunggu.”

Dea beranjak dari duduknya dan mendekati Dewi yang sedang asyik mendengarkan mp3.
“Wi.. yuk.. ke bawah. Dia ada di serambi lantai 2.” (Sambil tetap berdiri dan menampakkan wajah tegang dengan nada suara yang sedikit bergetar 4 miliknya.

Sekarang de? Kamu jangan nerveous gitu ah.. kelihatan tau.” Dewi bernada meledek

Dea hanya diam tak berminat menanggapi candaan Dewi yang dari pagi tadi gencar Ia lakukan. Dea hanya tersenyum tipis dan kembali mengontrol dirinya agar tak kelihatan nerveos. Perlahan kedua akhwat itu turun dari tangga menuju tempat ikhwan dan temannya berada. Semakin grogi yang dirasakan dea saat itu. Sesekali Dea memegang tangan karibnya. Dingin..terasa dingin. Untungnya Dewi adalah karib yang cekatan mengerti kondisi Dea yang memang baru pertama kalinya di ajak bertemu oleh seorang ikhwan

“Banyak berdzikir de… Tenang dan tarik napas pelan-pelan. OK” Senyum manis tergambar dari wajah Dewi saat itu.

Semakin dekat dengan tempat ikhwan itu duduk. Ternyata mereka sedang asyik ngobrol hingga tak sadar akan kedatangan mereka berdua. Dengan terpatah-patah dan sekuat tenaga Dea mengawali dengan salam “Assalamu’alikum”. Kedua ikhwan itu sempat kaget dan terdiam sesaat.

“Oh..wa’alaikumsalam. Silahkan duduk di sana saja.”
“Iya baiklah.”

Dea dan Dewi perlahan-lahan duduk berjajar. Pandangan Dita tak sekalipun tertengok pada Ikhwan itu. Deapun tak banyak bicara dan memang sengaja memilih diam terlebih dahulu. Sesaat semuanya diam dan hening. Perasaan yang campur aduk semakin di rasakan oleh Dea. Untungnya ada hijab yang membentengi mereka sehingga tak terlalu nampak wajah tegang Dea saat itu.

“Ehm..mungkin kita buka dulu saja ya.” Suara berat itu mencoba mengawali.
“Assalamu’alaikum wr.wb”
“Wa’alaikumsalam wr.wb” Ketiganya menjawab serempak
“Baiklah pertama saya ucapkan terima kasih  atas kesediaan dea dan Dewi untuk memenuhi undangan saya, jika sudah menyita waktunya.Mungkin langsung saja pada pokok pembicaraan. Sebelumnya saya mau bertanya, Apakah Dea sudah mengetahui apa yang akan saya  bicarakan?”



Terkaget dengan pertanyaan itu. “E… belum Akh!” Singkat jawaban dari Dea karena memang Ia tak tahu apa yang akan di bicarakan.

“Oh..baiklah kalau Anda belum tahu. Sebelumya saya meminta maaf dulu dengan apa yang akan Ana bicarakan ini.” Diam sesaat. Ntah apa yang dipikirkan. Mungkin saat itu sedang mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan pembicaraan. Dea semakin bergetar dan mencoba untuk tak henti-hentinya menyebut nama ALLAH.

“E.. jadi begini …..  saya ingin menyampaikan kalau saya ingin ber Ta’aruf dengan Anda”

Bagai disambar petir hati Dea setelah mendengar kata Ta’aruf. Sekujur badannya menjadi lemas. Ada angin bahagia, terkejut dan juga kesedihan yang kala itu datang secara bersamaan.

“Iya..itu , Niatan dari saya. Ya.. tentunya niatan ini suci. Saya anggap dea masuk ke dalam kriteria. Sekarang monggo dea tanggapi dan mungkin langsung saja saya menanyakan apakah bisa diteruskan atau tidak?”

Masih diam dan hanya diam saja. Dita kehabisan kata-kata untuk menanggapi niatan suci itu. Dewi yang melihat karibnya seperti itu langsung bereaksi memberikan sentuhan hangat di punggung Dea. Akhirnya Dea pun beranjak dari kebisuannya.

“Iya Akh. Sebelumya saya ucapkan terimaksih, anda sudah menyampaikan niatan tersebut. Sepakat jika anda menyebutnya sebagai niatan suci. Oh..ya apakah saya boleh minta waktu untuk menjawab pertanyaan anda tadi?”

“Lho..kenapa harus ada waktu dea. Ini kan hanya proses ta’aruf. Semuanya masih bisa menolak ko. Sampai nanti pada tahap khitbah pun anda bisa menolaknya. Tidak ada ikatan kan dalam proses ini. saya pikir tidak perlu waktu untuk memutuskan bisa lanjut atau tidak. Kalaupun tidak juga saya siap menerimanya.”

Semakin bingung Dea menanggapinya. Ia tak bisa memutuskan dengan secepat itu. Ia harus berpikir terlebih dahulu. Akhirnya Dea meminta waktu sebentar saja. Dea dan Dewi langsung meninggalkan tempat mereka berbicara.
Percakapan antara Dea dan Dewi terlihat sangat serius. Dewi mencoba memberikan support kepada Dea untuk mengambil jalan yang terbaik. Dewi memberikan masukan-masukan tentang siap tidaknya Dea jika menjalani proses tersebut. Sedangkan Dea berpikir hingga jauh ke depan. “Ta’aruf itu gerbang menuju pernikahan Wi. Dalam prosesnyapun tidak diperkenankan lama-lama hingga menuju proses pernikahan walaupun memang tidak ada aturan yang saklek sekali tentang tenggang waktu karena masalah waktu bisa disepakati bersama. Sedangkan aku belum sama sekali terpikir kearah sana. Berita ini membuat ku kaget dan tak menyangka sebelumnya. Aku masih harus berpikir bagaimana keluargaku, orang tuaku. Lagi pula orang tua ku tidak mengizinkan aku untuk menikah secepatnya karena mereka sangat berharap pada ku untuk menggapai cit-citaku. Kalaupun kami nantinya bisa saling sepakat tapi apakah iya semuanya akan tahan terhadap godaan dan maksiat yang mungkin akan di jalani selama 4 tahun ke depan?”

Begitulah singkatnya dialog antara mereka berdua hingga dengan mengucapkan BISMILLAH Dea sudah menetapkan keputusan final dalam hatinya. Entahlah keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat itu akan berdampak apa. Akhirnya mereka kembali ke tempat semula. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, Dea memulai pembicaraan.

“Sebelumya maafkan saya, saya sudah mempunyai keputusan apakah bisa di lanjut atau tidaknya(Diam). Saya memutuskan untuk “TIDAK”.” Angin segar menembus celah-celah hatinya. Ia lantang dan terdengar mantap saat mengatakan TIDAK.

“Oh..baiklah dea” Suara ikhwan itu menjadi berat dan pelan. “terima kasih atas tanggapannya.  kalau boleh tahu apa alasannya?

“Sejujurnya saya belum berpikir hingga ke situ Akh dan saya belum dapat restu dari orang tua serta banyak pertimbangan-pertimbangan yang lain yang saya tidak bisa ungkapkan di sini.”

“Oh..iya Ukh. Kalau memang itu keputusan anda dan saya pun juga tidak meminta lagi Ukh. Terpenting sekarang adalah saya sudah menyampaikan niatan ini ke dea. saya juga takut dengan godaan-godaan syaithon jika hal ini tidak saya komunikasikan karena memang niatan ini sebenarnya sudah sejak lama ada. Dan saya tidak menyangka jawaban anda akan seperti itu. Ya sudah dea.. itu saja yang ingin saya sampaikan. Sekali lagi terima kasih atas waktu yang telah diluangkan. Ditutup saja dengan istighfar.”

Kedua ikhwan itu langsung berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu. Dea dan Dewi tetap pada posisinya. Dea ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Dea meminta kepada Dewi untuk menemaninya sesaat dan Ia mengungkapkan kebimbangan hatinya. Mengenai keputusan yang Ia ambil itu salah atau benar. Apakah tidak secara sepihak Ia memutuskan hal tersebut. Menyakitkan atau tidak dan lain-lain. Pikiran Dea jauh melayang-layang dengan segala kekhawatirannya. Dewi yang tahu kondisi karibnya sedang labil memilih menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu. Dewi membiarkan Dea berbicara panjang dan lebar, tak pernah sekalipun Dewi memotong pembicaraan Dea. Ketika Dea menyadari bahwa hari semakin petang barulah Dea mengakhiri celotehannya. Di saat itulah Dewi memberikan sebuah respon atau lebih tepatnya penguatan kepada Dea

“de… Benar atau salahnya keputusan yang kita ambil dalam hidup ini hanya ALLAH yang tahu. Kita sebagai hambaNYA hanya bisa ikhtiar sembari berdoa. Sepantasnya kita menyerahkan semuanya pada Rabb kita. Allah ingin kamu merasakan fase hikmah sebelum datang KEYAKINAN yang sesungguhnya.” Lembut suara Dewi sehingga seketika itu juga Dea meneteskan air mata dan langsung memeluk erat-erat karibnya.

“…Sebenarnya berat harus memikul amanah ini Wi. Tapi ku anak tunggal yang harus kuat dihadapan kedua orang tuaku. Tak tahu pengorbanan untuk menunda yang sebenarnya menjadi keinginanku juga apakah keputusan yang baik atau tidak ku serahkan semua pada Allah. Nantinya aku tak mau membebani semuanya.” (Ucap Dea yang semakin lemas)
Minggu, 23 September 2012

Dea masih dalam buaian renungan yang dalam. sekarang sudah pukul 03.00 tapi mata Dea juga belum bisa terpejamkan. Netbooknya masih menyala dan alunan nasyid masih setia menemani kerisuan Dea. Alarm HPnya berbunyi seketika membuat Dea tersadar. Sudah saatnya Qiyamul Lail. Tanpa berpikir panjang Dea bergegas mengambil air wudhu, menyegarkan badannya dengan dinginnya air.Tak lupa ia mematikan alunan nasyid yang menemani kerisauan Sajadah Ia bentangkan, Mukena Ia pakai dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Berniat untuk mengadu pada Sang Khalik atas segala kerisauan yang sedang Ia rasakan itu.

“Ya..Rabb.. Hamba mohon ampun atas segala Dosa yang telah hamba lakukan. Hamba lemah ya Rabb tanpaMU. Hamba mohon Ampunilah diri ini.

“Ya Alloh sesungguhnya aku memohon pada MU kiranya Engkau berkenan menetapkan pilihan yang terbaik untukku berdasarkan ilmu MU; memohon kepada MU kemampuan untuk bisa meraihnya dengan kekuasaanMU; dan memohon kepada MU agar aku memperoleh karunia yang agung. Sebab sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa, sedang aku tidak berkuasa; Engkau Maha Tahu sedang aku tidak tahu; Engkau Maha Mengetahui semua hal yang ghaib. Ya Allah jika Engkau mengetahui urusan itu terbaik untukku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku, maka tetapkanlah urusan tersebut untukku dan mudahkanlah untukku. Lalu berkahilah dia untukku. Sebaliknya Engakau Maha Tahu bahwa urusan ini buruk untukku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku, maka jauhkanlah tersebut dariku. Dan jauhkanlah aku darinya. Tetapkanlah kebaikan untukku dimana saja berada, kemudian jadikanlah aku ridha dengannya.”

Dea mengakhiri Doanya dalam sujud yang panjang sembari menitikkan air mata yang yang semakin deras. Dea merasakan sangat dekat dengan Rabbnya. Hingga Adzan Shubuh berkumandang Dea masih khusyuk dengan aduan pada Rabbnya. Dalam hatinya berkata “KU NANTIKAN KAU DI BATAS WAKTU”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar