KU NANTIKAN KAU DI BATAS WAKTU
Di kedalaman hatiku..
Tersembunyi harapan yang suci
Tak perlu engkau menyangsikan
Tak perlu engkau menyangsikan
Lewat keshalihan mu yang terukir menghiasi dirimu
Tak perlu dengan kata-kata
Sungguh walau ku kelu
Tuk mengungkapkan perasaan ku
Namun penantian mu pada diriku jangan salahkan
Kalau memang kau pilihkan aku
Tunggu sampai aku datang
Nanti ku bawa kau pergi ke syurga abadi
Kini belumlah saatnya
Aku membalas cintamu
Nantikan ku di batas waktu
Namun penantian mu pada diriku jangan salahkan
Kalau memang kau pilihkan aku
Tunggu sampai aku datang
Nanti ku bawa kau pergi ke syurga abadi
Kini belumlah saatnya
Aku membalas cintamu
Nantikan ku di batas waktu
(Edcoustic_ Nantikan Ku di Batas Waktu)
Alunan nasyid dari salah satu grup nasyid popular
mengalun dari netbook Dea. Pandangan kosong saat itu yang Dea tampakkan. Memandang netbook di hadapannya dengan jari
di atas keyboard, diam tak bergerak. Tatapan matanya menerawang jauh entah apa
yang Ia pikirkan saat itu. Hingga tanpa ia sadari sesekali butir air matanya
jatuh membahasi beberapa tombol keyboard di hadapannya. Lagu Nasyid itu mengalun
tak berganti-ganti hanya lagu itu yang ia dendangkan, entah sudah beberapa kali
lagu itu ia dendangkan.
Suara kodok dan desahan orang yang sedang tidur juga
turut meramaikan suasana kamar kost yang berukuran 3 X 3,5. Cuaca dingin karena
diluar hujan turun menambah kesyahduan malam itu. Yah… maklum jam dinding sudah
menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Dea pun belum juga bisa memejamkan mata.
Tetap pada kesibukannya memandangi netbook dengan lembar kerja Microsoft word.
Terdapat beberapa kata dalam halaman yang ia
tulis. Sebuah kejadian yang baru dia alami, tentang sebuah kesiapan yang
menjadikannya hatinya bimbang tak menentu, hanya dia yang tahu apa yang akan ia
lakukan. Entah apa yang harus dia lakukan untuk membuat
keputusan akan hal ini. Tentang masa depannya.
Dea adalah seorang akhwat, mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas
negeri di Jogjakarta fakultas Ekonomi. Dea adalah
aktivis di berbagai organisasi dalam dan luar kampus. Segala aktivitasnya
selalu yang berhubungan dengan syiar. Semangatnya begitu luar biasa dan selalu
aktif dalam kegiatan sosial. Ia adalah anak tunggal dari keluarga yang mampu
namun dia berpenampilan sederhana bahkan karena dandannannya tidak banyak orang
yang tahu tentang keluarganya. Karena banyak yang menilai bahwa dea adalah
salah satu akhwat sederhana. Walaupun begitu Kuliah pun Dea mendapat beasiswa
secara penuh selama 4 tahun karena prestasi di bidang akademik maupun non
akademik yang luar biasa yang pernah ia raih
di semester awal ia kuliah.
“Dea tunggu saya” short massage service pagi-pagi muncul di layar HP Nokia, tersemat nama salah seorang aktivis ikhwan yang tak lain adalah Azzam . Dea sungguh kaget mendapatkan sms yang tidak wajar itu. Azzam memang sudah ia kenal bahkan ia mengenalnya sebagai saudaranya karena berada dalam satu fakultas dan beberapa organisasi yang sama. Ya..Azzam adalah ketua bidang kewirausahaan di salah satu organisasi di kampus. Ikhwan yang mempunyai tanggung jawab atas tugas yang di embannya. Ikhwan ini juga yang diam-diam sempat membuat hati dan perasaan Dea kagum pada sosoknya karena tanggung jawabnya dan masuk kriterianya sebagai pendamping hidup bagi dea. Dengan hati dengan sejuta tanya dan dengan nada datar Dea menjawab pesan itu.
“Tunggu ??? tunggu apa ?? saya tak maksud dengan hal yang
Azzam katakan”
“Pokoknya tunggu saya, InsyaAllah nanti anda akan tahu
jika memang sudah waktunya untuk saya sampaikan hal ini.” Timpal Azzam itu.
Gemuruh hati Dea mulai memuncak. Tanda tanya besar dengan
jawaban Azzam itu. Tak disangka dan Dea pun sulit mencerna apa maksud
ikhwan itu. Beberapa saat Dea sempat hanyut dengan pikiran-pikiran yang
dibuatnya. Untunglah Dea cepat tersadar lalu beristghfar dan memutuskan untuk
mengakhiri sms itu.“Oh..ya saya sedang ada kerjaan. Iya di tunggu saja kabar
dari saya. ” Terkirimlah pesan penutup itu.
Dea masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa maksudnya?
Apa maksud dari pesan yang baru ia terima. Tak bisa dipungkiri hati Dita yang
notabenenya adalah seorang akhwat pastilah tersipu dengan isi sms itu. “Jika
memang sudah waktunya” “Tunggu dea” hm… inilah yang menjadi pertanyaan. Dea
mulai berpikir macam-macam dengan isi sms itu. Ada banyak
kemungkinan-kemungkinan yang sempat melayang di pikirannya. Apa iya tentang
sebuah kesiapan menuju pelaminan atau hanya sekedar kesiapan dalam hal lain di
organisasi misalnya, lalu tunggu, apakah ada info yang mengejutkan tentang
kuliah, tentang beasiswa atau apa??? Dea hanya berguman sendiri sesaat setelah
mendapat sms itu.
Tak ingin terbuai dengan kabar yang belum jelas itu,
akhirnya Dea memutuskan mempersiapkan presentasinya untuk beberapa mata kuliah
hari ini. Bergegas Dita mengambil draft yang telah di persiapkan lalu membuka
netbook dan mulai mencari Power point presentasi yang ia buat semalam. Dita
mencoba mengalihkan pada presentasinya.
Jam Dinding menunjukkan pukul 06.30. Suara teman sekamar
Dea tiba-tiba menegurnya
“de, kamu gak mandi dulu? Udah setengah 7 ni. Kamu ada kelas setengah 8 kan?”
“de, kamu gak mandi dulu? Udah setengah 7 ni. Kamu ada kelas setengah 8 kan?”
Cepat Dea melirik jam yang ada di Netbooknya dan
terbelalak.
“Iya Wi… maksih ya udah diingatkan. Ku terlalu fokus ni
sama bahan presentasi nanti” Sahut Dea
“Ya..udah sana mandi. Biar aku yang beresin kamar.” Tawar
Dewi
“Ok..sip.. makasih ya Wi”
Tepat pukul 07.15 Dea selesai dengan persiapannya.
Langkah tegap dengan tas punggung yang tampak berat siap ia gerakkan.
“Assalamu’alaikum wi, Ku ke kampus dulu ya” teriaknya sambil jalan. Sepanjang
jalan Dea membaca hand out presentasinya. Membaca kembali isi presentasi yang
nanti akan dilakukannya di depan kelas.
Hari sudah mulai senja. Dea baru saja keluar dari kelas.
Hari ini hari yang melelahkan buatnya karena ada 9 SKS yang harus Ia lalui
dengan beruntun. Adzan Ashar mengantarkannya keluar dari ruangan kelas dan
langsung menuju Masjid kampus. Ia ingin segera membasuh wajahnya dengan air wudhu.
“Benar-benar hari ini menguras tenaga ku Wi, 9 SKS dengan
mata kuliah full praktek.” Curhatan Dita ketika bertemu Dewi di tempat wudhu
akhwat
“Tetap semangat de, udah cepat ambil wudhu. Nanti keburu
iqomah. Ku duluan ya.” Sambil meninggalkan Dea di tempat wudhu menuju lantai 3
Masjid kampus.
Sholat Asharpun telah berakhir.
Sholat Asharpun telah berakhir.
Dea dan Dewi memutuskan untuk segera pulang ke kostn.
Sore ini mereka tidak ada kegiatan di organisasi maupun di tempat lain. Mereka
berdua turun dari tangga akhwat menuju serambi lantai 2 tempat ikhwan.
Segerombolan ikhwan masih ngobrol di tangga-tangga. Entah apa yang mereka
bicarakan yang pasti seperti kebiasan akhwat saja. Dea dan Dewi memberanikan
diri lewat samping gerombolan ikhwan itu menuju tempat sepatu. Ketika mengambil
sepatunya, Dea tak sengaja menangkap wajah seseorang yang saat itu juga tengah
melihatnya. Ya..ikhwan itu adalah yang mengirim sms tadi pagi. Semburat senyum
terlihat pada wajah ikhwan saat mereka saling melihat. Terpaksa dengan salah
tingkah Dea membalas senyum itu ala kadarnya lalu kembali menunduk dan berjalan
meletakkan sepatunya sebelum ia pakai. Tentu getaran yang luar biasa kala itu.
Cepat-cepat Dea melangkah meninggalkan masjid tanpa menoleh lagi kemana-mana
dan terus berdzikir. Dewi yang tidak sadar dengan perubahan sikap Dea hanya
mengikutinya dari belakang.
Sesaat setelah sampai kost, HP Dea bergetar.
Dikeluarkannya dari dalam saku roknya. Ternyata dari ikhwan itu lagi.
Cepat-cepat Ia buka.
“Asslm.. dea adakah waktu saya ingin berbicara dengan
anda?”
Dengan cepat kilat, Dea menekan tombol replay lalu
mengetik huruf demi huruf.
“Wa’alaikumsalam. Berbicara mengenai apa ? Kapan?”
“Lebih baik saya komunikasikan nanti saja saat kita
bertemu. Untuk waktunya dea bisanya kapan? Saya menyesuaikan. Oh..ya nanti dea
ajak teman ya.”
“Oh..iya . InsyaAllah minggu bada ashar dea kosong.”
“Baiklah. InsyaAllah minggu sore di masjid kampus saja de.”
“Iya. InsyaALLAH.”
Begitulah singkatnya. Dea mengiyakan pertemuan itu tanpa
mengetahui apa yang sebenarnya akan dijadikan topik dalam pertemuannya nanti.
Yang pasti Dea ingin tahu apa yang menjadi niatan ikhwan itu hingga mengajaknya
bertemu. Sepanjang sore itu Dea tak bisa lepas dengan hal itu. Selalu timbul
pertanyaan dan pertanyaan. Hari ini adalah hari kamis berarti dua hari lagi.
Gumannya.
Hari yang telah ditentukanpun tiba. Ahad selepas ashar Dea
menuju masjid kampus. Saat itu Ia baru saja selesai kegiatan bhakti sosial yang
diselenggarakan salah satu organisasi yang Ia ikuti. Jam tangan menunjukkan
pukul 15.00 dan saat itu Dea masih dalam perjalanan di angkot. Pikirnya pasti
akan terlambat. Langsung Ia mengeluarkan HP dan meencari-cari nomor seseorang
di kontak HP nya. Ia akan sms Dewi dulu yang sore itu akan menemaninya menemui
ikhwan itu.
“Wi.. ku masih di perjalanan. Kayaknya jam empat baru
sampai masjid. Kamu ke masjid dulu ya. Tunggu aku di masjid aja. Macet banget
ini.”Sending massage. Dan beralih pada kontak selanjutnya. Kontak ikhwan itu
pilihannya.
“maaf keliahatannya nati saya terlambat. Saya baru saja
selesai kegiatan di luar. Ini baru menuju kampus. Kira-Kira jam empat baru
sampai. .” Cepat Dita mengirimkan pesan itu.
“Iya de, tak apa. saya tunggu di Masjid saja”
Dewi saat itu sudah berada di Kampus menunggu datangnya
Dea. Pukul 15.45 ternyata Dea sudah sampai Masjid Kampus. Bergegas Ia mengambil
air wudhu dan Sholat Ashar di masjid lantai 3. Selepas sholat Ia mengambil
HPnya kembali dan meng SMS Ikhwan itu.
“Anda dimana? saya sudah di masjid.”
“Di serambi lantai 2 de, sebelah utara. Di sini saja ya.
saya tunggu.”
Dea beranjak dari duduknya dan mendekati Dewi yang sedang
asyik mendengarkan mp3.
“Wi.. yuk.. ke bawah. Dia ada di serambi lantai 2.”
(Sambil tetap berdiri dan menampakkan wajah tegang dengan nada suara yang
sedikit bergetar 4 miliknya.
Sekarang de? Kamu jangan nerveous gitu ah.. kelihatan
tau.” Dewi bernada meledek
Dea hanya diam tak berminat menanggapi candaan Dewi yang
dari pagi tadi gencar Ia lakukan. Dea hanya tersenyum tipis dan kembali
mengontrol dirinya agar tak kelihatan nerveos. Perlahan kedua akhwat itu turun
dari tangga menuju tempat ikhwan dan temannya berada. Semakin grogi yang
dirasakan dea saat itu. Sesekali Dea memegang tangan karibnya. Dingin..terasa
dingin. Untungnya Dewi adalah karib yang cekatan mengerti kondisi Dea yang
memang baru pertama kalinya di ajak bertemu oleh seorang ikhwan
“Banyak berdzikir de… Tenang dan tarik napas pelan-pelan.
OK” Senyum manis tergambar dari wajah Dewi saat itu.
Semakin dekat dengan tempat ikhwan itu duduk. Ternyata
mereka sedang asyik ngobrol hingga tak sadar akan kedatangan mereka berdua.
Dengan terpatah-patah dan sekuat tenaga Dea mengawali dengan salam
“Assalamu’alikum”. Kedua ikhwan itu sempat kaget dan terdiam sesaat.
“Oh..wa’alaikumsalam. Silahkan duduk di sana saja.”
“Iya baiklah.”
Dea dan Dewi perlahan-lahan duduk berjajar. Pandangan
Dita tak sekalipun tertengok pada Ikhwan itu. Deapun tak banyak bicara dan
memang sengaja memilih diam terlebih dahulu. Sesaat semuanya diam dan hening.
Perasaan yang campur aduk semakin di rasakan oleh Dea. Untungnya ada hijab yang
membentengi mereka sehingga tak terlalu nampak wajah tegang Dea saat itu.
“Ehm..mungkin kita buka dulu saja ya.” Suara berat itu
mencoba mengawali.
“Assalamu’alaikum wr.wb”
“Wa’alaikumsalam wr.wb” Ketiganya menjawab serempak
“Baiklah pertama saya ucapkan terima kasih atas kesediaan dea dan Dewi untuk memenuhi
undangan saya, jika sudah menyita waktunya.Mungkin langsung saja pada pokok
pembicaraan. Sebelumnya saya mau bertanya, Apakah Dea sudah mengetahui apa yang
akan saya bicarakan?”
Terkaget dengan pertanyaan itu. “E… belum Akh!” Singkat
jawaban dari Dea karena memang Ia tak tahu apa yang akan di bicarakan.
“Oh..baiklah kalau Anda belum tahu. Sebelumya saya
meminta maaf dulu dengan apa yang akan Ana bicarakan ini.” Diam sesaat. Ntah
apa yang dipikirkan. Mungkin saat itu sedang mengumpulkan kekuatan untuk
melanjutkan pembicaraan. Dea semakin bergetar dan mencoba untuk tak
henti-hentinya menyebut nama ALLAH.
“E.. jadi begini …..
saya ingin menyampaikan kalau saya ingin ber Ta’aruf dengan Anda”
Bagai disambar petir hati Dea setelah mendengar kata
Ta’aruf. Sekujur badannya menjadi lemas. Ada angin bahagia, terkejut dan juga
kesedihan yang kala itu datang secara bersamaan.
“Iya..itu , Niatan dari saya. Ya.. tentunya niatan ini
suci. Saya anggap dea masuk ke dalam kriteria. Sekarang monggo dea tanggapi dan
mungkin langsung saja saya menanyakan apakah bisa diteruskan atau tidak?”
Masih diam dan hanya diam saja. Dita kehabisan kata-kata
untuk menanggapi niatan suci itu. Dewi yang melihat karibnya seperti itu
langsung bereaksi memberikan sentuhan hangat di punggung Dea. Akhirnya Dea pun
beranjak dari kebisuannya.
“Iya Akh. Sebelumya saya ucapkan terimaksih, anda sudah
menyampaikan niatan tersebut. Sepakat jika anda menyebutnya sebagai niatan
suci. Oh..ya apakah saya boleh minta waktu untuk menjawab pertanyaan anda
tadi?”
“Lho..kenapa harus ada waktu dea. Ini kan hanya proses
ta’aruf. Semuanya masih bisa menolak ko. Sampai nanti pada tahap khitbah pun
anda bisa menolaknya. Tidak ada ikatan kan dalam proses ini. saya pikir tidak
perlu waktu untuk memutuskan bisa lanjut atau tidak. Kalaupun tidak juga saya
siap menerimanya.”
Semakin bingung Dea menanggapinya. Ia tak bisa memutuskan
dengan secepat itu. Ia harus berpikir terlebih dahulu. Akhirnya Dea meminta
waktu sebentar saja. Dea dan Dewi langsung meninggalkan tempat mereka berbicara.
Percakapan antara Dea dan Dewi terlihat sangat serius. Dewi mencoba memberikan support kepada Dea untuk mengambil jalan yang terbaik. Dewi memberikan masukan-masukan tentang siap tidaknya Dea jika menjalani proses tersebut. Sedangkan Dea berpikir hingga jauh ke depan. “Ta’aruf itu gerbang menuju pernikahan Wi. Dalam prosesnyapun tidak diperkenankan lama-lama hingga menuju proses pernikahan walaupun memang tidak ada aturan yang saklek sekali tentang tenggang waktu karena masalah waktu bisa disepakati bersama. Sedangkan aku belum sama sekali terpikir kearah sana. Berita ini membuat ku kaget dan tak menyangka sebelumnya. Aku masih harus berpikir bagaimana keluargaku, orang tuaku. Lagi pula orang tua ku tidak mengizinkan aku untuk menikah secepatnya karena mereka sangat berharap pada ku untuk menggapai cit-citaku. Kalaupun kami nantinya bisa saling sepakat tapi apakah iya semuanya akan tahan terhadap godaan dan maksiat yang mungkin akan di jalani selama 4 tahun ke depan?”
Percakapan antara Dea dan Dewi terlihat sangat serius. Dewi mencoba memberikan support kepada Dea untuk mengambil jalan yang terbaik. Dewi memberikan masukan-masukan tentang siap tidaknya Dea jika menjalani proses tersebut. Sedangkan Dea berpikir hingga jauh ke depan. “Ta’aruf itu gerbang menuju pernikahan Wi. Dalam prosesnyapun tidak diperkenankan lama-lama hingga menuju proses pernikahan walaupun memang tidak ada aturan yang saklek sekali tentang tenggang waktu karena masalah waktu bisa disepakati bersama. Sedangkan aku belum sama sekali terpikir kearah sana. Berita ini membuat ku kaget dan tak menyangka sebelumnya. Aku masih harus berpikir bagaimana keluargaku, orang tuaku. Lagi pula orang tua ku tidak mengizinkan aku untuk menikah secepatnya karena mereka sangat berharap pada ku untuk menggapai cit-citaku. Kalaupun kami nantinya bisa saling sepakat tapi apakah iya semuanya akan tahan terhadap godaan dan maksiat yang mungkin akan di jalani selama 4 tahun ke depan?”
Begitulah singkatnya dialog antara mereka berdua hingga dengan
mengucapkan BISMILLAH Dea sudah menetapkan keputusan final dalam hatinya.
Entahlah keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat itu akan berdampak
apa. Akhirnya mereka kembali ke tempat semula. Dengan sisa kekuatan yang
dimilikinya, Dea memulai pembicaraan.
“Sebelumya maafkan saya, saya sudah mempunyai keputusan
apakah bisa di lanjut atau tidaknya(Diam). Saya memutuskan untuk “TIDAK”.”
Angin segar menembus celah-celah hatinya. Ia lantang dan terdengar mantap saat
mengatakan TIDAK.
“Oh..baiklah dea” Suara ikhwan itu menjadi berat dan
pelan. “terima kasih atas tanggapannya. kalau boleh tahu apa alasannya?
“Sejujurnya saya belum berpikir hingga ke situ Akh dan
saya belum dapat restu dari orang tua serta banyak pertimbangan-pertimbangan
yang lain yang saya tidak bisa ungkapkan di sini.”
“Oh..iya Ukh. Kalau memang itu keputusan anda dan saya
pun juga tidak meminta lagi Ukh. Terpenting sekarang adalah saya sudah
menyampaikan niatan ini ke dea. saya juga takut dengan godaan-godaan syaithon
jika hal ini tidak saya komunikasikan karena memang niatan ini sebenarnya sudah
sejak lama ada. Dan saya tidak menyangka jawaban anda akan seperti itu. Ya
sudah dea.. itu saja yang ingin saya sampaikan. Sekali lagi terima kasih atas
waktu yang telah diluangkan. Ditutup saja dengan istighfar.”
Kedua ikhwan itu langsung berdiri dan beranjak pergi dari
tempat itu. Dea dan Dewi tetap pada posisinya. Dea ingin menenangkan diri
terlebih dahulu. Dea meminta kepada Dewi untuk menemaninya sesaat dan Ia
mengungkapkan kebimbangan hatinya. Mengenai keputusan yang Ia ambil itu salah
atau benar. Apakah tidak secara sepihak Ia memutuskan hal tersebut. Menyakitkan
atau tidak dan lain-lain. Pikiran Dea jauh melayang-layang dengan segala
kekhawatirannya. Dewi yang tahu kondisi karibnya sedang labil memilih menjadi
pendengar yang baik terlebih dahulu. Dewi membiarkan Dea berbicara panjang dan
lebar, tak pernah sekalipun Dewi memotong pembicaraan Dea. Ketika Dea menyadari
bahwa hari semakin petang barulah Dea mengakhiri celotehannya. Di saat itulah
Dewi memberikan sebuah respon atau lebih tepatnya penguatan kepada Dea
“de… Benar atau salahnya keputusan yang kita ambil dalam
hidup ini hanya ALLAH yang tahu. Kita sebagai hambaNYA hanya bisa ikhtiar
sembari berdoa. Sepantasnya kita menyerahkan semuanya pada Rabb kita. Allah
ingin kamu merasakan fase hikmah sebelum datang KEYAKINAN yang sesungguhnya.”
Lembut suara Dewi sehingga seketika itu juga Dea meneteskan air mata dan langsung
memeluk erat-erat karibnya.
“…Sebenarnya berat harus memikul amanah ini Wi. Tapi ku
anak tunggal yang harus kuat dihadapan kedua orang tuaku. Tak tahu pengorbanan
untuk menunda yang sebenarnya menjadi keinginanku juga apakah keputusan yang
baik atau tidak ku serahkan semua pada Allah. Nantinya aku tak mau membebani
semuanya.” (Ucap Dea yang semakin lemas)
Minggu, 23 September 2012
Dea masih dalam buaian renungan yang dalam. sekarang
sudah pukul 03.00 tapi mata Dea juga belum bisa terpejamkan. Netbooknya masih menyala
dan alunan nasyid masih setia menemani kerisuan Dea. Alarm HPnya berbunyi
seketika membuat Dea tersadar. Sudah saatnya Qiyamul Lail. Tanpa berpikir
panjang Dea bergegas mengambil air wudhu, menyegarkan badannya dengan dinginnya
air.Tak lupa ia mematikan alunan nasyid yang menemani kerisauan Sajadah Ia
bentangkan, Mukena Ia pakai dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri.
Berniat untuk mengadu pada Sang Khalik atas segala kerisauan yang sedang Ia
rasakan itu.
“Ya..Rabb.. Hamba mohon ampun atas segala Dosa yang telah
hamba lakukan. Hamba lemah ya Rabb tanpaMU. Hamba mohon Ampunilah diri ini.
“Ya Alloh sesungguhnya aku memohon pada MU kiranya Engkau
berkenan menetapkan pilihan yang terbaik untukku berdasarkan ilmu MU; memohon
kepada MU kemampuan untuk bisa meraihnya dengan kekuasaanMU; dan memohon kepada
MU agar aku memperoleh karunia yang agung. Sebab sesungguhnya Engkau Maha
Berkuasa, sedang aku tidak berkuasa; Engkau Maha Tahu sedang aku tidak tahu;
Engkau Maha Mengetahui semua hal yang ghaib. Ya Allah jika Engkau mengetahui
urusan itu terbaik untukku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku,
maka tetapkanlah urusan tersebut untukku dan mudahkanlah untukku. Lalu
berkahilah dia untukku. Sebaliknya Engakau Maha Tahu bahwa urusan ini buruk
untukku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku, maka jauhkanlah
tersebut dariku. Dan jauhkanlah aku darinya. Tetapkanlah kebaikan untukku
dimana saja berada, kemudian jadikanlah aku ridha dengannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar