Cinta laksana air dalam kehidupan, nafas dalam jiwa, semangat dalam raga, lembut dalam sutera. Ia bagaikan panas pada api, dingin pada salju, luas pada angkasa dan, seperti kata Sapardi, “kayu kepada api yang menjadikannya abu”
Disebabkan oleh cinta, Rasulallah SAW selalu mengingat-ingat almarhumah Khadijah (RA), istri pertamanya, hingga Aisyah (RA), istri ketiganya, cemburu “Aku sangat cemburu dengan Khadijah karena sering disebut Rasulullah, sampai-sampai aku berkata: Wahai Rasulullah, apa yang kau perbuat dengan wanita tua yang pipinya kemerah-merahan itu, sementara Allah telah menggantikannya dengan wanita yang lebih baik?”
Rasulullah SAW menjawab, “Demi Allah, tak seorang wanita pun lebih baik darinya. Ia beriman saat semua orang kufur, ia membenarkanku saat manusia mendustaiku, ia melindungiku saat manusia kejam menganiayaku, Allah menganugerahkan anak kepadaku darinya.”.
Dalam riwayat lain diceritakan, Aisyah mengatakan, “Tak seorang pun dari istri-istri nabi yang aku cemburui lebih dalam ketimbang Khadijah. Meskipun aku belum pernah melihatnya, namun Rasulullah seringkali menyebutnya. Pernah suatu kali beliau menyembelih kambing lalu memotong-motong dagingnya dan membagikannya kepada sahabat-sahabat karib Khadijah.”
Jika hal tersebut disampaikan Aisyah, Rasulullah SAW menanggapinya dengan berkata, “Wahai Aisyah, begitulah kenyataannya. Sesungguhnya darinyalah aku memperoleh anak”.
Disebabkan oleh cinta, Adam memakan buah keabadian (syajarah khuldi), karena – konon – Sayyidah Hawwa memintanya melakukan itu. Adam yang hidup di syurga dengan kenikmatan yang tiada tara, tetap berharap dengan keabadian cinta. Ah, ada saja.
Dalam tulisan yang singkat ini, saya ingin membahas tentang cinta yang sebenarnya. Cinta yang telah mengantarkan janin pada kedewasaan, air pada pusaran gelombang dan jalinan rindu pada bait-bait syair kehidupan. Cinta, sebuah kata yang hanya terdiri dari lima huruf. Tetapi, kandungannya telah mengubah sejarah peradaban manusia. Syeikh ‘Aidh al-Qorni mengatakan kita harus memilah cinta pada dua takaran: cinta ilahiyah dan cinta duniawiyah. Cinta ilahiyah adalah cinta yang abadi. Cinta seorang hamba pada Allah untuk mengikuti seluruh aturan hidup yang diberikan lewat nabi-Nya, Muhammad SAW. Bagaimana mungkin manusia tak mencintai Tuhannya, sementara seluruh kenikmatan ini adalah pemberian-Nya: Ketentuan Allah adalah adil, syariat-Nya rahmat, ciptaan-Nya menawan, fadhilah-Nya luas melebihi keluasan samudera.
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ
مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ
كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا﴿١٠٩﴾
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS Al-Kahfi: 109)
Cinta ilahiyah adalah apa yang ditunjukkan Bilal bin Rabah, ketika ia berkata, “Ahad… ahad… ahad” di tengah himpitan batu panas yang menindihnya. Adalah Umair bin Himam yang berlari menyambut seruan perang padahal sedang asyik menikmati makanan, seraya berkata, “aku tak mau biji kurma ini menghalangiku masuk syurga.” Adalah Handzalah bin Abu Amir, yang melepaskan pelukan istrinya di malam pengantin baru, seraya menyambut seruan jihad pada perang Uhud dan menemui syahidnya. Ia dimandikan para malaikat hingga membuat sahabat nabi yang lain bertanya-tanya. “Mengapa dimandikan malaikat?” “Cari tahulah pada keluarganya” kata Rasulallah SAW yang mulia. Ya, ia tak sempat mandi jinabah saat menyambut panggilan Tuhannya. Itulah sekelumit contoh cinta Ilahiyah. Cinta yang meminta pengorbanan harta dan jiwa, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS As-Shaff 10-11).
Disebabkan oleh cinta, Ibn Abbas kehilangan kedua matanya. Tokoh yang dikenal sebagai “al-Quran berjalan”, lautan ilmu dan tempat bertanya para sahabat Nabi SAW itu menangis setiap malam dalam tahajudnya karena cintanya kepada Allah sampai matanya buta. Seseorang datang dan berusaha memberikan simpati padanya, Ibn Abbas justru berkata:
إن يأخذ الله من عيني نورهما *** ففي فؤدي وقلبي منهما نور
قلبي ذكي وعقلي غير ذي عوح *** وفي فمي صارم كالسبف مشهور
Allah mengambil dari kedua mataku cahayanya
Maka, pada hati dan pikiranku kedua cahaya itu tetap bersinar
(aku berharap) hatiku terus tajam, akalku terus terasah
Dan pada mulutku (kemampuan untuk memberi nasihat) seperti pedang yang terhunus tajam lagi terkenal.
Untuk itulah, seorang penyair Arab menulis:
الحب للرحمن جل جـلاله *** وهو مستحق الحب والأشواق
فأصرفه للملك الجليل ولذبه *** من كل ما تخشاه من إرهاق
Cinta sesungguhnya adalah hanya kepada yang Maha Mencinta
Dialah yang paling berhak untuk dicinta dan dirindu
Maka, palingkanlah cintamu dari raja yang berkuasa
Dan dari setiap yang engkau takut dari makhluk-Nya.
Selain cinta ilahiyah, manusia yang hidup di alam duniawi yang profan ini seharusnya merasakan juga cinta duniawi. Ia adalah fitrah pada manusia. Yaitu mencinta harta, anak dan istri (atau suami) sebagai belahan jiwa. Tentu semua itu tak boleh melebihi kecintaan seseorang pada Allah SWT. Untuk itulah, Allah SWT mengingatkan,
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ﴿٢٤﴾
Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. at-Taubah ayat 24).
Disebabkan oleh cinta, Nabi Nuh (alaihi salam) memanggil anaknya untuk bergabung dalam bahtera yang segera berangkat, saat air makin meninggi, gemuruh ombak dan gelombang lautan terus berkejaran mengisi seantero negeri yang akan segera tenggelam. Tapi, segera Allah SWT ingatkan,
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ
مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ﴿٤٦﴾
Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya[722] perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan Termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud 46)
Disebabkan oleh cinta manusia meminum arak rindu yang memabukkan itu. Mutanabbi, penyair Arab menulis, Aku mencintaimu, jangan kau tanyakan mengapa, sebab aku mencintaimu adalah pilihan dan jalan hidupku.
Penyair Arab lain menulis:
ولا تسألني عن وطني فقد اقمته بين يديك
ولا تسألنى عن اسمي فقد نسيته عندما احببتك
Jangan kau tanyakan dari mana asalku, sebab telah ku bentangkan di hadapanmu.
Jangan pula kau tanyakan siapa namaku, sebab aku telah lupa sejak mencintaimu.
Sebagai agama fitrah, Islam memberi ruang pada cinta duniawi ini. Ketika sepasang anak manusia tertarik satu dengan lainnya, Islam menganjurkan untuk segera mendokumentasikannya dalam mahligai rumah tangga. Rasulallah SAW berpesan, “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian sudah mampu (menikah), hendaklah menikah.” Ikat cintamu. Abadikan pelana hatimu. Simpan permata jiwamu. Proklamasikan belahan kasihmu di altar sajadah ijab-kabul yang disaksikan para malaikat, sambil bersimpuh di hadapan orang tua dan kerabat.
Cintailah pasanganmu seperlunya. Sebab, telaga cinta manusia pasti akan kering suatu saat kelak. Ia tak mungkin abadi, bahkan jika kau dokumentasikan cintamu semewah Taj Mahal sekalipun. Pernikahan telah menyingkap tabir rahasia pasanganmu. Bagi suami, ternyata istri yang engkau nikahi tidaklah semulia Khadijah yang rela berkorban seluruh hartanya untuk dakwah suaminya. Tidak pula setaqwa Aisyah yang menutup malam dengan tahajud dan siang dengan infak dan sedekah. Tidak pula setabah Fatimah ketika Ali bin Abi Thalib, suaminya, membagikan persediaan makanannya untuk fakir, miskin, janda dan tawanan perang hingga Allah turunkan ayat sebagai pengabadian cinta mereka, “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al-Insan 9)
Disebabkan oleh cinta, sadarlah engkau bahwa istrimu hanyalah wanita pada umumnya. Ia yang punya cita-cita dunia, ingin rumah, kendaraan, perhiasan dan berbagai gadget terbaru untuknya. Pernikahan telah mengajarkanmu kewajiban bersama. Istri menjadi tanah, engkau langit yang menaunginya. Istri ladang tanaman, engkau pemagarnya. Kala ia tengah teracuni, engkau harus menjadi penawar bisanya.
Maka, ketika cinta telah terpatri di buku nikah, Rasulallah SAW menganjurkan umatnya untuk mendoakan sepasang kekasih itu, “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, keberkahan ke atasmu dan mempersatukan keberduaanmu dalam kebaikan. Satu dalam dua adalah ibadah; bercumbu ibadah, mencari rezeki ibadah, tersenyum ibadah, bahkan saling meremas jemari pun ibadah. “Meremas jari-jemari istri menggugurkan dosa-dosa kecilmu!”
Malam pengantin baru adalah malam yang ditunggu-tunggu. Sebagian menantikannya dengan dada berdebar, sebagian lain dengan mabuk kepayang. Jantung berdetak tak karuan, kaki berdiri lebih sering kesemutan, duduk tak diam, berjalan tak jelas pula arahnya. Rasulallah SAW berpesan, “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan menjadi halal dengannya karena nama Allah.”
Disebabkan oleh cinta, Rasulallah SAW menganjurkan kepada pengantin baru hal-hal berikut ini:
1. Shalatlah dua rakaat.
2. Ambil gelas, tuangkan susu dan madu, teguk dan rengkuh isinya bersama.
3. Letakkan niat dengan benar sebab setiap amal seorang muslim dihitung berdasarkan niatnya. Dalam satu hadits diriwayatkan dari Abu Dzar bahwasanya orang-rang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala, di mana mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka menyedekahkan kelebihan harta mereka”. Rasulullah saw. bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik adalah sedekah, mencegah dari perbuatan mungkar adalah sedekah, bahkan di dalam salah seorang di antara kamu sekalian itu bersetubuh dengan istrinya juga termasuk sedekah”.
Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah seseorang itu melampiaskan nafsunya juga mendatangkan pahala?” Beliau menjawab: “Bagaimana pendapatmu seandainya ia melampiaskan nafsunya pada yang haram, bukankah yang demikian itu mendatangkan dosa? Demikian sebaliknya bila ia melampiaskan nafsunya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala”. (Riwayat Muslim).
1. Meletakkan tangan di atas kening istri seraya berdoa, “Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih” Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan dari apa yang Engkau berikan kepadanya serta Aku berlindung kepada-Mu dari pada keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya”.
2. Berdoa agar terhindar dari syaitan. Tibalah saat yang dinanti itu, ketika madu berkasih, ombak jiwa berdebar, angin bertiup melewati daun jendela, perahu pelaminan terguncang dan kasih tertunaikan. Rasulallah SAW ingatkan umatnya untuk sekali lagi berdoa. “Sekiranya ada di antara kalian yang hendak menggauli istrinya, hendaklah ia berdoa, (artinya), Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah syaitan, dan jauhkan syaitan dari apa yang Engkau rezekikan pada kami. Sebab sekiranya dari hubungan itu diberikan anak, niscaya tidak akan dicelakakan syaitan selama-lamanya.”
Demikian, tulisan singkat tentang cinta ini. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bis showab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar