Usai mengikuti pengajian rutin disekolah tempat mereka
mengajar. “ Luna, gak biasanya kamu gini. Apa kamu sakit ? koq kelihatannya
dari tadi melamun terus “ Tanya Rahmi sambil jalan menuju ke rumah. “
seandainya kamu tahu apa yang ada dihatiku Rahmi, kau pasti gak akan terima
ini…” gumam Luna dalam hati. “ hallo….” Tegur rahmi membuyarkan lamunannya.
“ ha, oh,. Ehm… gak papa kok mi, oh ya gimana? tadi malam jadi kerumah Bu Zuraidah ?, trus gimana hasilnya ? “ jawab Luna mengalihkan pembicaraan.“ sudah kubilang. Untuk sekarang ini, aku belum mau memikirkan hal itu. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral, yang harus kita jalani dengan serius, karena itu bukan sementara, tapi untuk selamanya…” ucap rahmi sedih. Ia terus memikirkan ayahnya yang sakit – sakitan. Ia masih ingin terus mengurusnya. Ia tak tega kalau harus meninggalkannya.
“ ha, oh,. Ehm… gak papa kok mi, oh ya gimana? tadi malam jadi kerumah Bu Zuraidah ?, trus gimana hasilnya ? “ jawab Luna mengalihkan pembicaraan.“ sudah kubilang. Untuk sekarang ini, aku belum mau memikirkan hal itu. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral, yang harus kita jalani dengan serius, karena itu bukan sementara, tapi untuk selamanya…” ucap rahmi sedih. Ia terus memikirkan ayahnya yang sakit – sakitan. Ia masih ingin terus mengurusnya. Ia tak tega kalau harus meninggalkannya.
Sementara Bu
Zuraidah, ketua yayasan mereka, ingin menjodohkan Rahmi dengan salah satu guru
disitu. “ Rahmi, aku ngerti kok perasaanmu. Tapi cobalah kamu istikharah
meminta petunjuk kepada Allah. Kesempatan tidak datang dua kali. Pak Ferdhi
sangat cocok untukmu. Dia seorang Da’i. Kami semua guru – guru disini
mendukung..” ucap Luna membesarkan hatinya, sambil menghapus setetes air mata
Rahmi yang tiba – tiba saja jatuh mengingat ayahnya yang sedang sakit. Mereka
berhenti sesaat. Sebenarnya Luna tidak tega kalau harus merebut ferdhi dari
tangannya karena Rahmi begitu akrab dengannya.
Malam itu. Kepala luna sakit sekali, mengingat ucapan
yang baru saja didengar. Ia menangis. Masih terngiang ditelinga ucapan ibunya. “
Luna, kapan lagi kamu menikah…?, sudah dua adikmu yang melangkahimu, cepat –
cepatlah kamu cari jodoh. Ibu sudah ingin menimang cucu dari kamu..” Ia masih
duduk terdiam ditempat tidur, melihat fhoto kekasihnya. Selaksa raut wajah dan
tragedi itu terputar kembali mengenang masa lalunya.
Pesta yang megah telah digelar. Seratus undangan lebih
telah tersebar. Tapi bukannya mempelai laki – laki yang datang, malahan seorang
lelaki berkumis tebal, berbaju seragam cokelat dan bertitel, datang dan
menanyakan kejelasan KTP yang diberikan. Korban kecelakaan lalu lintas.
Gaun kebaya yang masih melekat, menjadi saksi perpisahan
mereka dirumah sakit. Sang calon suami hanya diam terbujur lemas bersanding infus
dan hirupan oksigen yang melekat di wajahnya. Ia mengejar dokter usai proses
operasi. Namun dokter berkata, “ hanya ini yang sanggup kami lakukan. Tuhanlah
yang menentukan segalanya. “ ucap dokter itu sedih penuh penyesalan. Mendengar
itu, perasaan bahagia dan cinta yang telah terbangun lama, kini roboh
berserakan. Jilbab yang anggun, tak lagi tertata rapi oleh sedihnya. Lututnya
melantai. Derai air matanya tak kunjung henti. Dalam hati ia ingin berteriak,
ya Rabb…. Kenapa kau timpakan ini padaku?
Sepertiga malam ia habiskan untuk bermunajat kepada Allah
swt. Ia terus menangis, memohon pada yang Kuasa, agar dimudahkan jodohnya.
Sebenarnya beberapa calon telah ditawarkan kepadanya. Ada yang pengusaha, PNS,
angkatan, bahkan ada yang ingin melamarnya seorang konglomerat. Namun semua itu
ia tolak. Apalah artinya harta yang melimpah apabila tidak dilandasi keimanan
dan ketaqwaan yang dapat mengokohkan bahtera rumah tangga. Semua itu ia
tuangkan dalam diary mungil, selepas tahajjudnya.
Fajar sidik mulai membangunkan sang mentari dari
peraduannya. Selesai sholat subuh, ia tidur kembali.“ Luna, kamu gak ngajar ?,
sekarang sudah jam delapan..” ibunya membangunkan dengan lembut. “
astaghfirullah…” ucapnya tersentak saat mendengar jam delapan. Langsung ia
berberes dan mempersiapkan segala sesuatunya. Bukupun asal sahut saja tanpa
melihat – lihat lagi yang mana yang akan diajarkan nanti.
Ferdhi tiba di sekolah telat. Ia melihat Madrasah sepi.
Beberapa orang tua menggandeng tangan anaknya kembali pulang. “ kenapa pulang
bu?” Tanya ferdhi penuh penasaran, sambil memarkir sepeda motornya dan melepas
helm dari kepalanya. “ lho kok Bapak gak pergi?, ayahnya bu rahmi sekarang
sedang kritis di rumah sakit. Semua guru menjenguk kesana. Anak – anak hari ini
diliburkan.” Jawab orang tua murid.
Ferdhi langsung balik arah menuju rumah sakit. Tapi
ketika ia sampai disimpang, angkot warna putih berhenti didepannya. Luna turun
tergesa. “ Bu Luna..,” panggil Ferdhi mengejutkan.
Baru saja Luna membayar ongkos pada pak supir.“ ada apa
pak?” Tanya Luna heran. Jarang sekali Ferdhi mau ngobrol dengan rekan guru
akhwat. Kecuali ada sesuatu hal yang sangat penting. Dengan singkat ferdhi
memberitahukan kabar yang ia dapat. Merekapun bergegas ingin pergi ke rumah
sakit. Luna sangat segan dan ragu, ingin minta bonceng. Begitu juga ferdhi. Ia
sangat menjaga hijab. Mungkin ia lebih baik memberikan sepeda motornya untuk
luna kendarai, daripada harus memboncengnya.“ Bu Luna naik angkot saja ya?”“ ya
pak. Gak papa, Bapak duluan saja. Nanti saya menyusul. “
Madrasah sunyi. Semua murid – murid sudah dijemput oleh
orang tuanya. Ada juga yang pulang sendiri karena rumahnya dekat. Ferdhi tidak
tega harus meninggalkannya luna sendirian. Iapun menunggu Luna sampai dapat
angkot. Satu setengah jam mereka menunggu angkot. Tetap tak tampak melintas.
Angkot lintas ke madrasah memang sangat jarang. Satu – satu. Apalagi kalau
sudah jam delapan keatas. Tidak ada sewa. Para pekerja dan pelajar sudah berada
ditempatnya masing – masing. Angkot – angkot itu juga menunggu sewa diterminal
sampai penuh, baru mau berangkat. Mereka resah. Entah apa yang sudah terjadi
dirumah sakit sana. Mereka ingin segera kesana. Ferdhi juga bingung. Satupun
becak juga tak ada yang muncul. Kalaupun ada, sudah berisi kian penumpang yang
ia bawa dari tempat mangkal. Mentari semakin meninggi.
Mereka tidak mungkin melama – lamakannya. Saat darurat,
segala sesuatu yang tidak boleh menjadi boleh. Gak mungkin ferdhi meninggalkan
Luna sendiri ditempat yang sepi. Ferdhi mempersilahkan Luna naik disepeda
motornya. Mereka segera meluncur. Ferdhi cukup tangkas menerobos mobil – mobil
besar yang mengangkut pasir dan batu. Luna juga tahu batas. Tidak seperti
remaja sekarang pada umumnya. Gak tahu malu. Boncengan dengan bukan muhrimnya.
Memeluknya layaknya suami istri. Bahkan mungkin suami istripun malu melakukan
itu ditempat umum. Dasar zaman edan !! Dus, mereka sampai dirumah sakit.
Sejurus kemudian, mereka menemui guru – guru lainnya yang telah lama berada
disana. Keluarga Rahmi berada didepan ruang gawat darurat. Spontan Bu Zuraidah
mendekati Ferdhi dan menggiringnya ke sudut ruangan. “ Pak Ferdhi, mungkin
hanya Bapak yang dapat menyelamatkan ini. Rahmi sedari tadi pingsan belum
siuman. Ia sangat takut ayahnya meninggal. Dari sekian orang saudaranya, hanya
Rahmi-lah yang paling disayang oleh ayahnya” ucap Bu Zuraidah penuh pengharapan
dan sedih. Ia melanjutkan.. “ sebelum ayahnya sakit, ayahnya berpesan bahwa ia
ingin melihat Rahmi menikah sebelum ia pergi…, entah apa maksudnya. Tolonglah
Pak Ferdhi, Rahmi orangnya ta’at, ia sabar dan sebentar lagipun akan diwisuda.
Cocok untuk jadi da’iah pendamping pak Ferdhi”, jelasnya runut, mendesak penuh
harapan. Wajahnya memelas.
Sebenarnya telah lama juga Ferdhi jatuh hati pada Rahmi.
Ia beda dengan guru – guru yang lainnya, yang hanya memakai jilbab dan rok saat
mengajar saja. Bahkan rahmi sering ikut pengajian rutin ibu – ibu arisan yang
diisi oleh Ferdhi. Jilbabnya yang menjulur lebar, baju gamisnya yang longgar
dan panjang, mampu menusuk hati Ferdhi bagai panah asmara. Seketika itu juga Bu
Zuraidah mengurus tuan kadi dan mahar yang ala kadarnya. Asal ini berlangsung.
Sementara itu, Luna terus mengipasi Rahmi yang tengah
pingsan di ruang tunggu dengan buku yang asal cabut dari tasnya. Tapi tiba –
tiba saja tangan Luna di tarik oleh salah satu guru yang lain, sebentar keluar.
Kondisi ayah Rahmi semakin parah. Buku yang dipakai luna untuk mengipas,
tertinggal disamping Rahmi yang mulai sadar. Tanpa sengaja rahmi membuka buku
itu. Wangi penuh hiasan stabilo dan tinta warna. Itu buku diary Luna. Ia buka
halaman terakhir…
Jum’at, 22 januari 2010
Pukul 03: 15
……..
“ ya Rabb, seandainya aku boleh menjual diriku, akan kuberikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya seorang. Aku mencintainya karena keimanan dan ketaqwaannya. Namun aku tak mau menjadi pagar makan tanaman. Biarlah pak Ferdhi bahagia dengan Bu Rahmi.
Rabbighfirli ala kulli dzunubi..
Pukul 03: 15
……..
“ ya Rabb, seandainya aku boleh menjual diriku, akan kuberikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya seorang. Aku mencintainya karena keimanan dan ketaqwaannya. Namun aku tak mau menjadi pagar makan tanaman. Biarlah pak Ferdhi bahagia dengan Bu Rahmi.
Rabbighfirli ala kulli dzunubi..
Semua berkumpul diruang UGD. Termasuk Rahmi yang dibopong
masuk oleh guru yang lain. Bu Zuraidah sudah mengkonfirmasikan ke dokter yang
menangani ini. Iapun mendapat izin.
“ayah !! bangun ayah. Sekarang Rahmi akan penuhi permintaan ayah…” ucapnya sesenggukan dengan terus mengharap jawaban. Air matanya tak terbendung. Tuan kadi, Ferdhi, Bu Zuraidah, Luna dan rekan guru lainnya juga cemas. Namun jawaban yang keluar, lain dari apa yang diharapkan.
“ayah !! bangun ayah. Sekarang Rahmi akan penuhi permintaan ayah…” ucapnya sesenggukan dengan terus mengharap jawaban. Air matanya tak terbendung. Tuan kadi, Ferdhi, Bu Zuraidah, Luna dan rekan guru lainnya juga cemas. Namun jawaban yang keluar, lain dari apa yang diharapkan.
Titttttttt……
Gambar gelombang deteksi jantung dilayar monitor bergaris lurus. Innalillahi
wa inna lillahi roji’un… Suasana haru pilu berkelebat dalam ruangan itu.
Ferdhi, Luna, Bu Zuraidah, tuan kadi, rekan guru dan beberapa suster yang
direncanakan akan jadi saksi nikah, melihat Rahmi yang tengah sedih tak karuan.
Ia memeluk ibunya dan terus menangis. Tak ada yang berani mengusik mereka.Cepat
– cepat Ferdhi membenahi posisi ayahnya. Mengatur perlengkapan mayat seadanya.
Sementara Bu Zuraidah menyelesaikan administrasi rumah sakit agar jenazah
ayahnya cepat dibawa pulang. Tapi Luna, ia hanya bisa melihat sosok sahabat
karibnya tengah berkabung. Kasihan. Dalam beberapa minggu ini Rahmi terus sedih
memikirkan ayahnya.
Luna mendekati Rahmi. Ia memeluknya. Sesaat hanyut dalam
kesedihan. “mi, kamu harus ikhlas ya. Semua ini sudah kehendak yang kuasa..”
ucapnya berusaha menyeka air mata Rahmi dipipinya. Setelah selesai memposisikan
jenazah, Ferdhipun menghampiri mereka. Ia memberi semangat agar terus positif
menatap hidup ke depan. Namun semua itu tetap tak dapat melunturkan kesedihan
rahmi. Tatapan matanya kosong. Fikirannya buntu. Tapi entah kenapa, saat
melihat mereka berdua, ia jadi teringat dengan tulisan yang sempat ia baca di
diary Luna tadi. “Setidaknya aku bahagia melihat kalian berdua bahagia” ucap
Rahmi yang tiba – tiba bereaksi. Ia menarik tangan Luna dan Ferdhi yang
beralaskan baju kokonya. Begitu juga saat disatukan. Tangan Ferdhi diletakkan
ditangan yang berbalut gamisnya. Luna masih bingung
“aku sudah membaca buku diary mu na, aku ingin kalian menikah”. Lanjut Rahmi pasrah.
“aku sudah membaca buku diary mu na, aku ingin kalian menikah”. Lanjut Rahmi pasrah.
Semua yang mendengar bergetar heran dengan keputusan
rahmi. Bu zuraidah menatap penuh kebimbangan. Bahagia dalam pilu. Dua sahabat
yang saling mencintai karena Allah. Didepan rahmi, tuan kadi menjalankan
prosesi akad nikah untuk Luna dan Ferdhi. Sungguh mulia hati Rahmi. Disaat
kekalutannya ia masih bias memikirkan orang lain.
Tahajjud luna tak sia – sia. Allah tidak tidur. Ia maha tahu isi hati hambanya. Dan cintapun merebak dengan ikhlasnya.
Tahajjud luna tak sia – sia. Allah tidak tidur. Ia maha tahu isi hati hambanya. Dan cintapun merebak dengan ikhlasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar